Wednesday, July 15, 2020

Riba Dalam Perspektif Hukum Islam

I. PENDAHULUAN
Setelah kita membahas riba dan berbagai permasalahannya, kita akan menganalisis bunga dengan berbagai implikasinya, baik dari sisi ekonomi, produktivitas perjuangan, dampak kejiwaan, hubungan antar anggota masyarakat, demikian juga karenanya kepada akumulasi utang negara meningkat .

Ada beberapa syarat utama untuk dapat mengetahui bunga dan kaitannya dengan riba, yakni menghindarkan diri dari kemalasan ilmiah yang cenderung pragmatis dan menyampaikan bahwa praktek pembungaan uang seperti yang dijalankan lembaga-lembaga keuangan ciptaan Yahudi sudah sejalan dengan ruh dan semangat Islam. Tunduk dan patuh terhadap hukum Allah dan Rasulullah dalam segala aspek termasuk dimensi ekonomi dan perbankan, seperti dalam firman Allah SWT

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, bila Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka opsi (yang lain) tentang permasalahan mereka. (al-Ahzab : 36)

II. PEMBAHASAN

A. Riba
Riba yang berasal dari bahasa Arab artinya suplemen (ziyadah, Arab/addition, Inggris), yang mempunyai arti : embel-embel pembayaran atas duit pokok santunan.

اَلرِّبَـافيِ الشَّرْعِ هُوَ فَصْلٌ خَـالٍ عَنْ عِوَاضٍ شُرِطَ ِلاَحَدِالْـعَاقِدِيْنَ



Kelebihan/pelengkap pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad / transaksi. Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga seperti bahwa riba ialah untuk dukungan yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk dukungan yang bersifat produktif.

Adapun imbas akibat praktek riba itu antara lain yaitu :


1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin
2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam perjuangan-perjuangan yang produktif, contohnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang mampu menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat berguna bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3. Bisa menjadikan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa menjadikan keretakan rumah tangga, bila si peminjam itu tidak bisa mengembalikan perlindungan dan bunganya.

Karena menyaksikan ancaman besar atau efek negatif dari praktek riba itulah, maka Nabi Muhammad membuat persetujuandengan kelompok Yahudi, bahwa mereka tidak dibenarkan melaksanakan praktek riba dan Islam pun dengan tegas nelarang riba. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit. Pada kurun Mekah sebelum hijrah, Allah berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39, yang menandakan bahwa bagi Allah orang itu sesungguhnya tidak melipatgandakan hartanya dengan jalan riba, melainkan dengan jalan zakat yang dikeluarkan sebab Allah semata-mata.

Di dalam hadits-hadits Nabi, yang menegaskan bahwa riba itu termasuk tujuh dosa besar, ialah syirik, sihir, membunuh anak yatim, melarikan diri waktu peperangan dan menuduh zina wanita yang bagus-baik.

لَعَـنَ الله ُ آكِلَ الرِّبَـا وَهُوَ كِلَّهُ وَشَــاهِـدَيْهِ وَكَاتِبَـهُ (الحديث)

Allah mengutuk orang yang mengambil riba (orang yang memberi sumbangan), orang yang memperlihatkan riba (orang yang utang), dua orang saksinya, dan orang yang mencatatnya.

Ibnu al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa pertanda bahwa riba ada dua macam, adalah :

a. Riba yang terperinci, yang diharamkan alasannya adalah adanya kondisi sendiri, yakni riba nasiah (riba yang terjadi alasannya adanya penundaan pembayaran hutang). Riba nasiah ini hanya di perbolehkan dalam keadaan darurat.

b. Riba yang samar, yang diharamkan sebab karena lain, ialah riba yang terjadi alasannya adanya perhiasan pada jual beli benda/materi yang sejenis.

اَلْحَــاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَـةَ الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْطُوْرَاتِ.

Hajat (keperluan yang mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa, sedangkan kondisi darurat itu menjadikan boleh melakukan hal-hal yang dihentikan.

B. Bank non-Islam (Convensional Bank)
Bank non Islam atau convensional bank, ialah sebuah forum keuangan yang berfungsi utamanya mengumpulkan dana untuk disalurkan kepada yang membutuhkan dana, baik individual atau badan guna investasi dalam perjuangan-perjuangan yang produktif dan lain-lain dengan metode bunga, sedangkan bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum Islam. Sudah tentu bank Islam tidak menggunakan tata cara bunga, suatu bunga tidak boleh oleh Islam.

Sebagai pengganti metode bunga Bank Islam memakai berbagai cara yang bersih dari komponen ribam antara lain adalah sebagai berikut :

a. Wadiah (titipan uang, barang dan surat berharga dan deposito). Lembaga fiqh Islam bisa diterapkan oleh Bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari penduduk dengan cara mendapatkan deposito berupa uang, barang, dan surat-suart berguna selaku amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa mesti mengeluarkan uang imbalannya, namun bank harus menjamin mampu mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya (depositor) memerlukannya.

b. Mudharabah (koordinasi antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar kesepakatanprofit and loss sharing. Dengan mudharabah ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan kontrakmodal terhadap usahawan untuk perusahaannya dengan persetujuanbagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini, bank tidak mencampuri administrasi perusahaan.

c. Bank Islam boleh pula mengelola zakaat di negara yang pemerintahannya tidak mengurus zakat secara pribadi. Dan bank juga mampu menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang akhirnya untuk kepentingan agama dan umum.

C. Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Dalam kehidupan terbaru mirip kini ini, umat Islam nyaris tidak bisa mengelak diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang menggunakan tata cara bunga itu dalam segala faktor kehidupannya, tergolong kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia umat Islam mesti menggunakan jasa bank apalagi dalam kehidupan ekonomi tidak mampu lepas dari jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju mirip kini ini. Namun para ulama dan cendekiawan muslim sampai dini masih tetap berlawanan usulan ihwal aturan bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank.

Menurut penulis, argumentasi ulama dan cendekiawan muslim mengijinkan bahkan merekomendasikan berdirinya bank Islam dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Umat Islam sudah berada dalam kondisi darurat, sebab dalam kehidupan terbaru sekarang ini umat Islam hampir tidak mampu menghindarkan diri dari bermuamalah dengan bank dengan tata cara bunga dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan agama / ibadahnya.

2. Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga yang mengandung komponen pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang berpengaruh ekonominya kepada yang lemah ekonominya.

3. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam dengan bank non-Islam yang menjadikan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa menerapkan pemikiran agamanya dalam kehidupan pribadi dan penduduk , terutama dalam acara bisnis dan perekonomiannya.

4. Untuk mengaplikasikan ketentuan fiqh, اَلْحُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَتٌ (menyingkir dari pertengkaran ulama itu sunat hukumnya). Sebab ternyata sehingga kini ulama dan cendekiawan muslim masih beda usulan perihal hukum bermuamalah dengan bank konvensional, alasannya duduk perkara bunga bank yang masih tetap kontrovesial (haram/syubhat/halal).

D. Bank Islam di Indonesia
Telah lama umat Islam di Indonesia mendambakan adanya bank dengan sistem syari’at Islam (tanpa bunga) dan ikhtiar-ikhtiar untuk menuju kearah itu sudah usang dijalankan. Karena itu, patut di syukuri berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, sehabis diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan didorong oleh cendekiawan muslim Indonesia (ICMI) kemudian direstui dan disponsori Presiden.

Setelah BMI sebagai bank lazim dengan metode bagi hasil berdasarkan syari’at Islam berdiri pada tahun 1991 dengan total modal Rp. 120 Milyar yang terkumpul hanya dalam tempo 3 hari, kemudian disusul dengan lahirnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pada tahun 1992 di berbagai daerah di Indonesia.

1. Tujuan BMI dan BPR dengan metode bagi hasil berdasarkan syariat Islam antara lain ialah :

a. Untuk memajukan kualitas kehidupan sosial ekonomi penduduk terbanyak bangsa Indonesia, sehingga semakin menyusut kesenjangan sosial ekonomi dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional antara lain lewat :
- Peningkatan kuantitas dan kualitas aktivitas perjuangan
- Peningkatan kesempatan kerja dan
- Peningkatan pendapatan penduduk banyak

b. Untuk mengembangkan partisipasi msyarakat banyak dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan alasannya:

- Masih lumayan banyak yang enggan bekerjasama dengan bank itu riba
- Masih banyak penduduk yang menilai bunga bank itu riba
- Dengan berhasilnya pembangunan di bidang agama semakin banyak penduduk yang mempersoalkan aturan bunga bank

2. Produk-Produk operasional BMI
Pada lazimnya produk-produk operasional bank konvensional juga dikerjakan dan dikembangkan oleh BMI, tetapi tidak dengan metode bunga mirip yang dilaksanakan oleh bank konvensional, melainkan dengan tata cara bagi hasil berdasarkan syariat Islam.

a) Produk-produk BMI yang disediakan terhadap penduduk antara lain dalam bentuk :

a. Giro titipan (wadi’ah)

- Giro wadiah untuk ibadah, masjid, baitul maal, bazis, dan sebagainya
- Giro wadi’ah untuk muamalah, terdapat saldo rata-rata diatas jumlah tertentu dalam waktu tertentu dengan hak laba.

b. Deposito bagi hasil / mudharabah

c. Simpanan mudharabah namun dibenarkan adanya mutasi tanpa perjanjian, sehingga perlu perkiraan saldo rata-rata.

1) Tabungan mudharabah ibadah haji
- Dapat dijadikan jaminan fasilitas kredit bank

2) Tabungan mudharabah muamalah
- Untuk beasiswa, nikah, rumah dan sebagainya
- Bagian keuntungan dipertimbangkan sesuai dengan saldo rata-rata dalam waktu tertentu
- Dapat dijadikan jaminan kemudahan kredit bank.

b) Produk penyaluran dana berupa :
- Kredit bagi hasil mudharabah
- Kredit pemilikan barang jatuh tempo
- Kredit pemilikan barang cicilan
- Kredit kebijakan


DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1987
2. M. Daud Ali, Kedudukan Hukum dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta, 1984.
3. MUI, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon