Minggu, 02 Agustus 2020

Makalah Kerangka Atau Model Dan Pendekatan Alternatif

Judul Utama: Kerangka, Model dan Pendekatan Alternatif dalam Studi Usul al-Fiqh Kontemporer Kerangka Dasar. Guna menunjang anutan dan pengembangan aturan Islam dalam kehidupan masyarakat sekarang telah saatnya aturan Islam dikembangkan lewat kerangka filsafat ilmu dan kerangka sosiologi hukum dengan pendekatan sejarah sosial. Karena aturan secara sosiologis ialah refleksi tata nilai yang diyakini penduduk selaku suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti bahwa muatan aturan selayaknya bisa menangkap aspirasi masyarakat yang berkembang dan berkembang, bukan cuma bersifat kontemporer, melainkan juga selaku pola dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik periode depan. Pemikiran di atas memberikan bahwa aturan bukan sekedar norma statis yang yang memprioritaskan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan anutan dan merekayasa perilaku penduduk dalam mencapai cita-citanya (Ahmad, dkk: xi).  

Ahli aturan Islam mendefinisikan aturan Islam dalam dua sisi, yaitu aturan Islam sebagai ilmu dan hukum Islam selaku produk ilmu. Sisi terakhir ini hukum Islam disebut dengan kumpulan aturan-hukum syara’ yang dihasilkan lewat ijtihad. Hukum Islam sebagai ilmu didefinisikan sebagai ilmu yang mengupayakan lahirnya hukum syara’ amali dari dalil-dalil rinci (Zahrah,Tanpa Tahun: 5 dan Khallaf,1968:11). Pengertian aturan Islam selaku ilmu ini mengandung unsur aturan Islam selaku ilmu.

Hukum Islam sebagai ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan, yakni bahwa aturan Islam (1)dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-wawasan yang tersusun melalui asas-asas tertentu,(2) pengetahuan-pengetahuan itu terjaring dalam sebuah kesatuan tata cara, dan (3) memiliki tata cara-sistem tertentu(Afif,1991:3-5).

Pengetahuan-wawasan dalam aturan Islam meliputi pengetahuan ihwal dalil (nas-nas), perintah dan larangan, dan lain-lain. Pengetahuan-wawasan ini diakumulasikan lewat asas-asas tertentu sehingga tersusun baik. Asas-asas dimaksud contohnya asas tasyri’ bertahap, sekurang-kurangnya tuntutan syara’, dan meniadakan kesulitan. Pengetahuan-wawasan tersebut dapat diakumulasikan dan disusun dengan baik sebab setiap pengetahuan satu sama lain terkait secara fungsional dalam suatu sstem tertentu. Karakteristik selanjutnya dari hukum Islam selaku ilmu adalah adanya tata cara-sistem tertentu dalam hukum Islam. Metode-metode tersebut tertuang dalam seruan fiqh dan qawa’id fiqhiyah yang dalam operasionalnya melipti (1) Metode deduktif, ialah sistem penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil lazim.Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau menginterpretasikan dalil-dalil Al-Alquran dan Hadis menjadi problem-problem usul fiqh.(2) Metode induktif, yaitu metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus. Kesimpulan dimaksud adalah kesimpulan aturan atas suatu dilema yang memang tidak disebutkan rincian ketentuannya dalam nas Al-Quran dan Hadis.(3) Metode genetika, adalah tata cara penelusuran titik mangsa dalam mengetahui latar belakang terbitnya suatu nas dan mutu nas. Metode ini menggunakan pendekatan historis., dan (4) sistem dialektika, yaitu sebuah sistem yang memakai pikiran sehat lewat pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa(tesis-tesis) dan anti tesis. Kedua pernyataan (tesa dan anti tesa) tersebut kemudian didiskusikan dengan prinsip-prinsip logika yang logis untuk mendapatkan kesimpulan ( sebagai tesa simpulan)(Nasuha, 1989:16).

Dari karakteristik hukum Islam selaku ilmu di atas menunjukkan bahwa apapun yang dihasilkan hukum Islam ialah produk daypikir yang berarti pula mendapatkan konsekuensi-konsekuensinya sebagai ilmu. Di antara konsekuensi-konsekuensi itu yaitu (1) Hukum Islam selaku ilmu yaitu skeptis, (2) hukum Islam selaku ilmu bersedia untuk diuji dan dikaji ulang, dan (3) aturan Islam selaku ilmu tidak kebal kritik(Afif,1991:5).

Skeptisitas hukum Islam sebagai ilmu berarti bahwa pernyataan-pernyataan atau keputusan-keputusan yang dihasilkan aturan Islam lewat metode dan pendekatan-pendekatannya cuma bernilai relatif. Kapasitas nilai nisbi ialah mendekati kebenaran ajeg, jadi artinya kapasitas kerelatifan adalah kebenaran nisbi, yaitu suatu kebenaran yang dihasilkan ijtihad(Mu’allim dan Yusdani,1999:33).

Pengertian tersebut menunjukkan bahwa ijtihad yaitu perjuangan(upaya) mendapatkan kepastian hukum dari dalil-dalil. Berarti ijtihad ialah bukan hanya usaha mengerti nas saja, sementara ada masalah-problem yang tidak tercakup dalam nas alasannya terjadinya pergantian dan pertumbuhan peradaban insan. Kondisi inilah yang disinyalir oleh al-Syahrastani dengan menyatakan bahwa nas-nas boleh jadi terhenti, sedangkan peristiwa-peristiwa aturan tak pernah berhenti, sesuatu yang tidak berhenti tidak dikelola oleh sesuatu yang terhenti(al-Syahrastani, Tanpa Tahun :200).

Skeptisitas aturan Islam mirip disebutkan di atas jelas memberi potensi dikaji ulang. Artinya, kesimpulan-kesimpulan aturan Islam bersedia untuk diuji. Misalnya pengujian dan pengkajian ulang kepada kesimpulan hukum Islam yang dihasilkan dari metode induktif (istiqra’i) yang pernah dilaksanakan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu lamanya menstruasi bagi perempuan. Ada kemungkinan generalisasi al-Syafi’i kepada seluruh wanita berdasarkan sampel perempuan Mesir tidak tepat sebab fisik dan genetik manusia di dunia ini tidak sama, apalagi bila bioteknologi ikut campur tangan. Akibatnya, kemungkinan bias dari sample yang ditetapkannya adalah tidak tidak mungkin. Oleh alasannya itu, tetap berpeluang terhadap duduk perkara ini untuk dilakukan eksperimen. Demikian pula kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh sistem analogi, bersedia untuk diuji dan dikaji ulang alasannya analogi berkonsentrasi pada kategori yang kriterianya nisbi(Afif,1991:7).

Konsekuensi lebih lanjut dari hukum Islam selaku ilmu ialah bahwa hasil-hasil kajian dan tata cara hukum Islam tidak kebal kritik. Artinya, ketetapan menggunakan sistem dan pendekatan tertentu terhadap sebuah persoalan dan alasan-argumentasi tertentu terhadap suatu keputusan terbuka untuk dikritik. Upaya kritik ini dapat dijalankan melalui studi perbandingan mazhab, tarjih dan tashih. Konsekuensi inilah yang memperlihatkan bahwa suatu pedoman hukum Islam mampu jadi benar, tetapi ada kemungkinan salah. Terhadap adanya kemungkinan benar dan salah inilah yang memberi peluang untuk dikerjakan kritik(Afif,1991:7).

Dari posisi aturan Islam selaku ilmu dengan karakteristik, sistem-sistem, dan konsekuensi-konsekuensinya mirip tersebut di atas, mampu dimengerti bahwa kitab-kitab fiqh yang disusun oleh ulama-ulama fiqh, di samping persoalan-masalahnya yang menyangkut masalah-persoalan furu’iyah fiqhiyah, juga selaku hasil ilmu. Sebagai hasil ilmu tentu mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu, ialah bersifat skeptis, bersedia dkaji dan duji ulang, dan tidak kebal kritik. Dengan kata lain, Hasil-hasil hukum Islam sebagai ilmu yang termuat dalam kitab-kitab fiqh itu ialah komoditas informasi yang menunjukkan bahwa para ulama telah membicarakan persoalan fiqhiyah. Dengan konsekuensi-konsekuensi tersebut juga memberikan bahwa aturan Islam tidak pernah berhenti melaksanakan tugasnya, bahwa dengan konsekuensi-konsekuensi itu pula hukum Islam berkemampuan untuk menyesuaikan diri dengan pertumbuhan situasi dan keadaan kehidupan manusia, atau menjadi motivasi lahirnya pembaruan peradaban insan dan konsep-konsepnya yang menjanjikan(Afif,19991:7).

Di samping problema-problema akademik aturan Islam selaku ilmu di atas, upaya mencari penyelesaian dan merumuskan metodologi studi dan fatwa aturan Islam yang komprehensif yang ialah kerangka dasar ajaran hukum Islam , juga sudah saatnya studi aturan Islam dewasa ini dikembangkan melalui kerangka sosiologi hukum. Karena itu pula duduk perkara yang dikaji terhadap aturan Islam dengan kerangka sosiologi yaitu (1) faktor-aspek sosial, politik, dan kultural apa yang melatarbelakangi munculnya suatu aturan Islam itu, (2) bagaimana efek ketetapan aturan Islam itu kepada masyarakat. Kedua aspek tersebut yakni wilayah kajian sosiologi. Sedangkan pendekatan historisnya ialah dalam rentang waktu kapan suatu ketetapan aturan Islam itu lahir(Mudzhar,1998a:246).

Sedikitnya ada lima produk aliran aturan Islam yang dikenal kaum muslimin dalam sejarah, adalah kitab-kitab fiqh, pemikiran-pemikiran ulama, keputusan-keputusan pengadilan, peraturan perundang-seruan dan kompilasi hukum Islam(Mudzhar,1998a:91-92,1998b:245). Kelima produk pemikiran hukum Islam tersebut dalam kaitan dengan upaya mereaktualisasikan aturan Islam, perlu diletakkan pada proporsi yang sebaiknya. Proporsi yang dimaksud adalah sebagaimana dikemukakan oleh N.J. Coulson(1969) bahwa ajaran hukum Islam tersebut hendaklah diletakkan dan dipahami sebagai produk pemikiran serta ditempatkan pada keenam pasangan pilihan tarik-menarik ialah antara kesatuan dan keragaman, antara universalisme dan partikularisme, antara wahyu dan nalar, antara kemapanan dan pergantian, antara idealisme dan realisme, dan antara otoritarianisme dan liberalisme.

Dengan demikian jelaslah bahwa aturan Islam hendaklah diketahui selaku upaya, hasil interaksi penerjemahan antara wahyu dan tanggapanyuris muslim terhadap dilema sosio-politik, sosio-kultural yang dihadapinya. Karena itu, kalau hukum Islam tersebut tidak lagi responsif terhadap berbagai duduk perkara umat yang timbul alasannya pergantian zaman, aturan Islam tersebut mesti direvisi, diperbarui, bahkan bila mungkin diganti dengan aturan Islam yang gres sama sekali. Hal ini memberikan bahwa pergeseran kurun atau pergantian sosial merupakan salah satu faktor yang menuntut adanya perubahan aturan(Zarqa,1968:137, Jauziyah,1955 III:3 dan al-Syahrastani, Tanpa Tahun :200).

Kerangka aliran di atas, ialah pendekatan alternatif dalam studi dan ajaran aturan Islam. Dalam kaitan inilah mempergunakan kerangka pendekatan sejarah sosial dan sosiologis kepada hukum Islam menjadi signifikan. Yang dimaksud dengan pendekatan sejarah sosial (social history) dalam ajaran dan studi hukum Islam dalam konteks ini adalah bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam intinya merupakan hasil interaksi si pemikir hukum Islam dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Oleh sebab itu produk pemikirannya itu sesungguhnya bergantung terhadap lingkungannya itu. Pendekatan ini memeperkuat argumentasi kenyataan sejarah yang menawarkan bahwa produk-produk ajaran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari pada hasil interaksi tersebut. Pendekatan sejarah sosial ini penting artinya alasannya adalah (1) untuk menaruh produk pedoman aturan Islam pada kawasan yang proporsional, dan (2) untuk memberikan keberanian terhadap para pemikir hukum Islam semoga tidak tidak yakin, kalau merasa perlu melakukan pergantian sebuah produk anutan hukum alasannya adalah sejarah sudah menerangkan bahwa umat Islam di aneka macam penjuru dunia telah melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan sejarah sosial berfungsi menelusuri bukti-bukti sejarah itu dan sebagian dari bukti-bukti itu ialah adanya pengaruh aspek lingkungan sosial budaya dalam kitab-kitab fiqh, aturan perundang-permintaan negeri-negeri muslim, keputusan pengadilan dan pedoman-fatwa ulama(Mudzhar,1998b: 103-125).

Berdasarkan kerangka teladan di atas, dapat dikemukakan bahwa dari kenyataan sejarah aturan Islam ternyata aspek sosial budaya mempunyai efek penting dalam mewarnai produk-produk pedoman hukum Islam, baik berbentuk kitab fiqh, peraturan perundang-usul di negeri muslim, keputusan pengadilan, maupun aliran-aliran ulama. Oleh alasannya adalah itu, apa yang disebut hukum Islam itu dalam realita bantu-membantu yaitu produk anutan aturan Islam yang ialah hasil interaksi antara yuris muslim sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun Al-Alquran dan Hadis memiliki hukum yang bersifat hukum , namun jumlahnya amat sedikit dibanding dengan jumlah duduk perkara hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengsisi kelemahan itu, para yuris muslim sudah menggunakan akalnya dan akibatnya ialah produk pemikiran aturan yang ada sekarang ini. Apa warna atau bagaimana dinamika produk anutan hukum itu akan tergantung kepada keberanian para pemikir aturan Islam yang ada sekarang ini(Mudzhar, 1998b: 127).

Setelah dijelaskan pendekatan sejarah sosial dalam studi dan aliran hukum Islam di atas, kemudian penedekatan sosiologis. Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam studi dan aliran aturan Islam ialah mempelajari aspek-aspek sosial, politik, dan kultural apa yang melatarbelakangi lahirnya sebuah produk pemikiran aturan Islam, dan bagaimana efek produk anutan aturan Islam itu kepada masyarakat(Mudzhar,1998a:246).

Studi aturan sosiologis pada dasarnya merupakan aktivitas yang belum usang dilaksanakan oleh para mahir hukum, tetapi pernyataan ini tidak bermaksud untuk menutupi aliran dan studi yang sudah ada mengenai hukum dalam masyarakat. Dalam korelasi ini, Alan Hunt menyatakan bahwa acara studi secara sosiologis kepada hukum dapat dimengerti sebagai kecenderungan intelektual yang timbul pada akhir era ke-19, dan dapat dibarengi sampai pada sosiologi modern, studi ini juga mempunyai ciri-ciri yang mampu dipergunakan dalam ilmu hukum kontinental dan dalam teori-teori politik yang menempatkan analisis aturan dalam konteks sosial(Hunt,1978: 1).

Studi Hukum dengan Pendekatan Sosiologis

Sehubungan dengan studi hukum sosiologis, Roscou Pound menyatakan bahwa di Benua Eropa dalam era kini telah tumbuh sebuah cabang sosiologi yang dinamakan sosiologi hukum (Sociology of Law), sedangkan di Amerika Serikat telah berkembang sebuah ilmu hukum sosiologi (Sociological Jurisprudence) (Gurvitch,1963:7). Dengan demikian, studi hukum sosiologis terdapat dua bentuk, yaitu di satu pihak ada sosiologi hukum (Sociology of Law), dan di lain pihak ada ilmu aturan sosiologis (Sociological Jurisprudence).

Adanya dua bentuk studi aturan sosiologis yang dibangun dan tumbuh dari dua disiplin ilmu yang berlawanan, telah pasti memiliki orientasi yang berlainan dengan corak yang berlawanan pula.(Taneko,1993:2) Untuk melihat pendekatan sosiologis yang dikemukakan dan mungkin dilaksanakan terhadap hukum Islam, kedua bentuk studi hukum sosiologis tersebut perlu diterangkan.

Pemikiran dan studi hukum sosiologis model ilmu hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence) tumbuh dan meningkat di Amerika Serikat (Gurvitch,1963:7) yang dipelopori oleh antara Roscou Pound(Soekanto,1985:30) dan Eugen Ehrlich(Taneko,1993:5) yang berakar dan tumbuh dari tradisi ilmu hukum (Gurvitch,1963:7). Basis intelektual dari ilmu aturan sosiologis ini secara eksplisit berorientasi pada filsafat pragmatisme dengan menekankan pentingnya problem mudah(Hunt,1978:184). Tema-tema studi hukum sosiologis model ilmu hukum sosiologis adalah antara lain efektivitas aturan, efek sosial aturan, dan studi sejarah aturan sosiologis, dengan menggunakan konsep hukum sebagai forum dan iktikad yang dirumuskan dalam undang-undang(Taneko,1993:7).

Sedangkan studi hukum sosiologis model sosiologi aturan (Sociology of Law) tumbuh dan meningkat di Benua Erofa (Gurvitch,1963:7), serta dipelopori oleh Emile Durkheim dan Max Weber (Taneko,1993:7) yang berakar dari tradisi sosiologi (Gurvitch,1963:7). Basis intelektual dari sosiologi hukum dengan semata-mata dengan duduk perkara teoritis(Taneko,1993:16). Tema-tema pemikiran atau studi hukum sosiologis versi sosiologi aturan (Sociology of Law) antara lain yakni kenali hukum dari dan selaku gejala sosial, dan juga menganalisis kekerabatan hukum dengan gejala sosial lainnya, khususnya sekali persoalan solidaritas dan system aturan. Dengan demikian, yang menjadi pokok bahasan studi hukum sosiologis versi sosiologi aturan ini yakni persoalan kenali hukum dan hubungan hukum dengan tanda-tanda-tanda-tanda sosial yang lain(Taneko, 1993:16).

Basis intelektual dan tema-tema baik studi aturan soaiologis versi ilmu aturan sosiologis maupun versi sosiologi aturan bila dikaitkan dengan kerangka dan tema-tema studi hukum Islam sosiologis yakni mampu mengkombinasikan studi hukum sosiologis model ilmu hukum sosiologis dan model sosiologi aturan. Hal ini mampu dicermati baik menurut kerangka dasar berpikir, basis intelektual maupun tema-tema yang mungkin dilakukan untuk studi aturan Islam pada kurun mendatang.

Hukum hendaklah dipahami selaku refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat selaku pranata dalam kehidupan masyarakat. Hal ini bermakna muatan hukum sepantasnya bisa menangkap aspirasi penduduk yang berkembang dan meningkat , bukan hanya yang brsifat kontemporer, malainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di periode depan. Pemikiran ini menawarkan bahwa aturan Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang mesti mampu mendinamisasikan ajaran dan merekayasa sikap masyarakat dalam mencapai cita-citanya.

Pengembangan hukum Islam pada kurun mendatang akan sungguh dipengaruhi bagaimana hukum Islam dikembangkan dengan kerangka filsafat ilmu. Hukum Islam selaku ilmu memiliki karakteristik keilmuan yang dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-wawasan yang tersusun melalui asas-asas tertentu, pengetahuan-pengetahuan tersebut terjaring dalam satu kesatuan metode, dan memiliki metode-tata cara tertentu. Dari karakteristik aturan Islam sebagai ilmu tersebut memperlihatkan bahwa apapun yang dihasilkan dari aturan Islam yaitu suatu produk daypikir yang memiliki arti pula mendapatkan konsekuensi-kosekuensinya sebagai ilmu. Di antara konsekuensi-konsekuensi itu ialah bahwa hukum Islam sebagai ilmu adalah skeptis, aturan Islam selaku ilmu terbuka untuk dikaji ulang dan diuji, dan aturan Islam selaku ilmu tidak kebal kritik.

Di samping itu, untuk menyebarkan aliran dan studi aturan Islam dalam kehidupan penduduk pada kala yang hendak datang, di samping studi normatif selama ini, telah saatnya dan sangat urgen bagi para ahli aturan Islam memikirkan studi dan aliran aturan Islam dalam kerangka sosiologi dengan pendekatan sejarah sosial. Yang dimaksud dengan kerangka sosiologi tersebut ialah dalam studi dan pedoman aturan Islam mempelajari aspek-aspek sosial, politik dan kultural yang melatarbelakangi lahirnya sebuah produk aturan fatwa aturan Islam, dan bagaimana pengaruh produk pemikiran hukum Islam tersebut kepada masyarakat. Sedangkan pendekatan sejarah sosial dalam pedoman dan studi aturan Islam ialah bahwa setiap produk pedoman hukum Islam intinya yakni hasil interaksi antara si pemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Oleh sebab itu produk pemikirannya tergantung terhadap lingkungannya. Dengan demikian jelaslah bahwa aturan Islam hendaklah dimengerti selaku upaya, hasil interaksi penerjemahan anutan wahyu dan tanggapanyuris muslim kepada dilema sosio-politik, sosio-kultural yang dihadapinya. Karena itu, kalau aturan Islam tersebut tidak lagi responsif terhadap aneka macam masalah umat yang muncul karena perubahan zaman, aturan Islam tersebut mesti direvisi, diperbaharui, bahkan jikalau mungkin diganti dengan aturan Islam yang gres sama sekali.

Untuk menghasilkan aturan Islam yang responsif kepada banyak sekali duduk perkara umat mirip yang dimaksud di atas, sudah pasti tidak dapat dilepaskan dari kajian dan peranan usul al-fiqh. Secara bahasa, ajakan merupakan bentuk jamak dari aslun yang bermakna dasar-dasar, pokok-pokok, ataupun landasan-landasan; sedangkan fiqh arti dasarnya fahm, pengertian. Dengan demikian secara etimologis permintaan al-fiqh mampu diartikan sebagai dasar-dasar pemahaman aliran Islam. Berangkat dari pemahaman etimologis ini mampu diketahui bahwa usul al-fiqh merupakan suatu ilmu yang mempelajari dasar-dasar, tata cara-sistem, pendekatan-pendekatan, dan teori-teori yang digunakan dalam mengetahui ajaran Islam. Hal ini mempunyai arti menempatkan seruan al-fiqh pada posisi sentral dalam studi keislaman dan kerap kali disebut sebagai the queen of Islamic sciences (Minhaji,1999:15). Dalam bahasa Taha Jabir al-Alwani, “ permintaan al-fiqh is rightly considered to be the most important method of research ever devised by Muslim Thought. Indeed, as the solid foundation upon which all Islamic disciplines are based, permintaan al-fiqh not only benefited Islamic civilization but contributed to the intellectual enrichment of world civilization as a whole (Alwani, 1994 : xi). Jika begitu, semua sarjana yang menggeluti studi Islam diperlukan memiliki bekal cukup, paling tidak memedulikan prinsip-prinsip dasar yang dibahas dalam ajakan al-fiqh, satu ilmu yang telah ada semenjak kurun permulaan Islam. Sebab, melalui ajakan al-fiqh para sarjana akan mengetahui, misalnya, bagaimana mengetahui Alquran, al-Sunnah, bagaimana jikalau terjadi kontradiksi (ta’arud) antara kedua sumber tersebut, dan bagaimana pula menuntaskan persoalan kontemporer sesuai dengan tuntutan kurun dengan tetap berlandaskan pemikiran wahyu lewat proses dan mekanisme ijtihad (Minhaji, 1999:15).

Memang mesti diakui, bahwa selama ini permintaan al-fiqh hanya senantiasa dikaitkan dengan problem hukum Islam, dan seperti disiplin ilmu di luar hukum Islam tidak membutuhkan ajakan al-fiqh. Hal ini terjadi sebab beberapa hal; pertama, Syafi’i kadang-kadang dinobatkan selaku pendiri ajakan al-fiqh, sedangkan ia sendiri dikenal sebagai ahli hukum Islam (fiqh). Kedua, aturan Islam dipandang sebagai salah satu fatwa pokok dalam Islam – sebagian sarjana menyampaikan selaku fatwa paling inti- ; bahkan pada abad awal Islam istilah ulama’ identik dengan fuqaha’. Ketiga pada abad pra-terbaru aturan Islam, terutama yang terkait dengan duduk perkara mazhab, dipandang bertanggung jawab atas kemunduran umat Islam. Karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan hukum Islam (termasuk undangan al-fiqh) dipandang sebelah mata oleh mereka yang menekuni kajian di luar aturan Islam (Minhaji,1999: 15).

Model-model Studi Usul al-Fiqh Kontemporer

Sebagai agama, Islam mendasarkan segala ajarannya kepada wahyu tuhan yang tertuang di dalam Alquran yang disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagaimana tertuang dalam hadis atau sunnah. Karena itu, secara doktriner-normatif, setiap individu muslim mesti mendasarkan segala aktifitas hidupnya pada Quran dan Hadis yang dikenal selaku sumber ajaran yang telah disepakati, dan ini merupakan salah satu bab terpenting dalam pemikiran keimanan Islam . Atas dasar ini masuk akal jika versi-versi berpikir deduktif ( fatwa yang lebih bertemaatas-bawah) cukup mendominasi dalam menjelaskan aliran-fatwa Islam mirip terkadang tergambar dalam ceramah-ceramah dan karya-karya keagamaan. Biasanya, pembahasan yang ada dimulai dengan mengutip satu Ayat atau Sunnah Nabi dan dijelaskan arti, makna, dan tujuannya dan ilustrasi lain yang terkait. Tidak jarang, penjelasan model demikian terlepas dari realitas sosial yang dihadapi umat. Penerapan al-qawa’id al-usuliyyah dan al-qawa’id al-fiqliyyah merupakan teladan lain dari model berpikir doktriner- deduktif tersebut. Itulah versi pendekatan pertama dalam usul al-fiqh (Minhaji,1999: 16).

Pada waktu yang sama, model empiris-historis-induktif, sebagai versi pendekatan kedua dari permintaan al-fiqh, juga diperlukan dalam rangka menjelaskan sekaligus menjawab dilema-problem hukum atau lainnya. Sebab, meskipun umat Islam meyakini bahwa ayat-ayat Quran (dan juga Hadis-hadis Nabi yang asli) mengandung kebenaran mutlak sebab tiba dari yang adikara dan mutlak (Allah) namun pemahaman kepada ayat-ayat Alquran tidaklah bersifat otoriter tetapi relatif sesuai dengan sifat relatif manusia itu sendiri. Sifat relatif ini meruakan ciri pokok dari aktifitas ilmu sosial yang diketahui saat ini. Karena itu, guna mendapatkan pemahaman ayat-ayat Quran yang, paling tidak, mendekati kepada yang diinginkan Allah maka diharapkan versi-model berpikir induktif sebagaimana diketahui dalam penelitian-penelitian sosial. Model kedua ini memaksa si pemikir untuk melihat realitas sosial yang berkembang di tengah – tengah masyarakat dilanjutkan dengan mengidentifikasi persoalan sekaligus memberikan alternatif penyelesaian yang diharapkan (Minhaji,1999:16).

Dua model pendekatan usul al-fiqh di atas mampu dijelaskan lewat acuan berikut. Salah satu pembahasan pokok dalam undangan al-fiqh yaitu perihal masadir al-tasyri’ al-islami (sumber-sumber penetapan pedoman Islam). Jika mengikuti acuan Syafi’i, sumber fatwa itu berisikan Quran, Sunnah, ijma’, dan qiyas, atau jikalau mengikuti teladan Mahmud Syaltut adalah Quran, Sunnah, dan ijtihad (al-ra’y wa al-nazar). Secara doktriner-normatif-deduktif kita mendapatkan sumber-sumber tersebut, apalagi sumber pertama dan kedua. Namun bagaimana memahami Alquran, mengetahui Sunnah, hubungan antara keduanya terlebih bila terjadi pertentangan dalil (ta’arud), sejarah munculnya ijma’, sebagaimana proses ijtihad dan bagaimana pula mengetahui hasil-hasil ijtihad itu sendiri, semua itu membutuhkan penelitian yang mendalam menyangkut duduk perkara-dilema seputar dalil dan hal-hal yang berhubungan dengan proses ijtihad tersebut; dan di sinilah versi pendekatan doktriner-normatif-deduktif tidak lagi cukup dan mesti dikombinasikan dengan model pendekatan kedua, empiris-historis-induktif. Model pengertian Alquran Abu Ishaq al-Syatibi, double movement-nya Fazlur Rahman, desain nasakh model Mahmoud Muhammad Taha, Pendekatan yang diperkenalkan Ali Syari’ati, ijtihad intiqa’i dan insya’i yang ditawarkan Yusuf al-Qardlawi, teori batas (Theory of limits, hudud) yang diajukan Muhammad Syahrur, seluruhnya melibatkan kedua model pendekatan usul al-fiqh di atas (Minhaji,1999:16-17).


Daftar Pustaka

Afif, Abdul Wahab. 1991. Fiqh (Hukum Islam ) antara Pemikiran Teoritis dengan Praktis. Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati.

Ahmad, Amrullah dkk (Ed.). 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th Prof.Dr.H. Bustanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press.

Alwani, Taha Jabir al-.1994. Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Usul al-Fiqh al Islami), A New Revised English Edition by Yusuf Talal DeLorenzo dan Anas S. Al Shaikh-Ali. Herndon, Virginia USA : International Institute of Islamic Thought.

Coulson, N.J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago dan London: the University of Chicago Press.

Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. Alih bahasa Sumantri Mertodipuro, 1963. Jakarta: Bhratara.

Hunt, Alan. 1978. The Sociological Movement in Law. Philadelphia: Temple University Press.

Khallaf, Abdul Wahhab.Tanpa Tahun. Ilm Usul al-Fiqh. Mesir : Maktabah ad-Dakwah.

Manan, Abdul.2006.Reformasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Minhaji, Akh..1999. “ Reorientasi Kajian Ushul Fiqh “ dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies State Institute of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta Indonesia No.63/VI/1999, hlm.15-17.

Mu’allim, Amir dan Yusdani. 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta : UII-Press.

Mudzhar, M. Atho.1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Disertasi pada UCLA Terj.Soedarso Soekarno dari judul Bahasa Inggris Fatwas of The Council of Indonesian Ulama : A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Edisi Dwibahasa (Indonesia dan Inggris ). Jakarta :INIS.

----------. 1998a. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

----------.1998b. Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

----------.1999. Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, 15 September 1999. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga.

Nasuha, A. Ghozin.1989. “ Epistemologi Kitab Kuning”. Pesantren. Tahun l Vol. VI. Jakarta : P3M, hlm.16

Rahman, Fazlur.1970. Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law : Shaikh Yamani on Public Interest in Islamic Law. International Law and Politic.

----------.1980. Major Themes of the Alquran. Chicago : Bibliotheca Islamic.

Soekanto, Soerjono.1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: C.V. Rajawali.

Syahrastani, asy-. Tanpa Tahun. Al-Milal wa an-Nihal. Beirut : Dar al-Fikr.

Taneko, Soleman B. 1990. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta : Rajawali.

----------.1993. Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wahjono, Padmo.1996. “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Hukum di Indonesia Masa Datang, dalam Amrullah ahmad dkk (Ed.) Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 TH Prof. Dr. H. Busthanul Arifin SH. Jakarta : Gema Insani Press. Hlm.167-176.

Yusdani. 2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum Islam Najamuddin At-Tufi. Yogyakarta : UII-Press.

Zahrah, Muhammad Abu. Tanpa Tahun.Usul al-Fiqh. Mesir : Darul Fikr al-Arabi.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon