Sabtu, 10 Oktober 2020

Makalah Biografi Al-Mawardi Dan Pemikirannya

BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Biografi Al-Mawardi dan Pemikirannya

Sebagaimana dikenali bahwa dunia Islam di periode kemudian banyak menciptakan tokoh dan pemikir-pemikir besar yang nama dan karyanya sampai sekarang masih digunakan dan dijadikan tumpuan dalam menghadapi banyak sekali suasana dan masalah yang terjadi dalam konteks kehidupan umat Islam. Salah satunya ialah al-Mawardi. Ia ialah seorang ahli fiqh terutama berkaitan dengan fiqh siyasi dan tergolong salah seorang tokoh yang berpengaruh besar terhadap ajaran politik Islam. Dalam kitabnya yang populer al-Ahkam as-Sulthaniyah ia banyak menawarkan teori-teori politik yang hingga ketika ini masih relevan dan dipakai oleh sebagian umat Islam dalam mengendalikan berbagai persoalan yang berhubungan dengan politik dan ketatanegaraan.

Al-Ahkam as-Sulthaniyyah demikian terkenalnya dan kadang kala dianggap selaku klasifikasi paling benar dari teori politik Islam utamanya dari golongan Sunni. Dalam sejarah Islam kitab ini merupakan risalah pertama yang ditulis dalam bidang ilmu politik dan administrasi negara secara jelas.[1] Namun jarang sekali dikerjakan pengkajian yang mendalam perihal buku itu, kenapa buku itu ditulis, sumber yang dipakai dalam menulis buku itu, serta pengaruhnya terhadap masanya dan era selanjutnya, adalah hal yang jarang dilihat dan dipermasalahkan.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Biografi Al-Mawardi dan Pemikirannya

A. RIWAYAT HIDUP AL-MAWARDI
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri (364 H/975-450 H/1058 M).[2] Lahir di Basrah pada tahun 364 H. Ia yakni seorang ahli fiqh, ahli hadis dan pemikir politik. Ia dikenal selaku tokoh terkemuka Mazhab Syafi’i pada masa ke-10, pejabat tinggi pada era pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan hidup di era kemunduran Dinasti Abbasiyah.

Al-Mawardi pada mulanya menimba ilmu di Basrah. Ketika itu Basrah termasuk salah satu sentra pendidikan dan ilmu wawasan di daerah Islam. Namun al-Mawardi masih belum puas dengan ilmu yang dimilikinya, hingga hasilnya dia melanjutkan studinya di Baghdad di Universitas al-Za’farani. Selanjutnya dia mengembara ke banyak sekali daerah, tetapi pada akhirnya kota Baghdad dipilihnya sebagai daerah tinggal dan mengajar di sana bertahun-tahun. Di kota ini pula dia menghabiskan waktunya untuk menulis sejumlah buku dalam banyak sekali bidang.

Selain menerima pendidikan di akademi tinggi, ia masih belum merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya. Ia lalu mempelajari banyak sekali disiplin keilmuan dari beberapa ulama ternama di Baghdad terutama berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Di antara gurunya adalah al-Hasan ibn Ali al-Hambali, Ja’far ibn Muhammad ibn al-Fadhl al-Baghdadi, dan Abu Hamid al-Isfirayini. Gurunya yang disebut terakhir ini amat besar lengan berkuasa pada diri al-Mawardi dan padanya beliau mendalami mazhab Syafi’i dalam kuliah berkala yang diadakan di sebuah masjid yang terkenal dengan nama Masjid Abdullah ibn al-Mubarak di Baghdad. Sedangkan teologi yang dianut al-Mawardi adalah teologi Sunni. Karena gurunya kebanyakan dari kalangan Sunni, maka corak pemikirannya mengarah ke Sunni.

Al-Mawardi mencar ilmu fiqh dari ulama terkemuka di Basrah adalah Syekh ash-Shaimiri dan Syekh Abu Hamid (keduanya ahli aturan Islam). Sejak kecil beliau sungguh bahagia mendalami fiqh utamanya yang berhubungan dengan fiqh siyasi (tata negara dan pemerintahan Islam), sesudah cukup umur ia menjadi Kadi yang terkenal (alasannya adalah sering berpindah-pindah) pada masa pemerintahan Abbasiyah, al-Qadir (berkuasa 381 H/991 M-423 H/1031 M1). Karir al-Mawardi meningkat sesudah beliau menetap kembali di Baghdad, adalah menjadi hakim agung (Qadi al-Qudat), penasehat raja atau khalifah di bidang agama (aturan Islam) dan pemerintahan.[3] Pada kurun pemerintahan khalifah al-Qadir, beliau diberi kehormatan dan diangkat menjadi duta keliling yang diutus dalam berbagai misi diplomatik ke negara-negara tetangga. Ia mempunyai pengaruh besar dalam menjaga dan memelihara wibawa khalifah al-Qadir di Baghdad yang merosot di tengah-tengah para raja dari Bani Saljuk dan Bani Buwaihi yang saat itu nyaris sepenuhnya berdiri sendiri.

Al-Mawardi di lalu hari terkenal dengan alasannya ajaran politik melalui bukunya yang berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyyah yang dianggap selaku buku pertama yang disusun khusus tentang fatwa politik Islam. Karya ini antara lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis. Selain dari al-Ahkam as-Sulthaniyyah, terdapat beberapa karyanya perihal politik Islam, antara lain: Qawanin al-Wizarah (Ketentuan-Ketentuan Kewaziran/Kementerian), Siyasah al-Mulk (Strategi Kepemimpinan Raja), Adab ad-Dunya wa ad-Din (Tata Krama Kehidupan Politik/Duniawi dan Agamawi), Kitab al-Hawi (Yang Terhimpun), dan al-Iqna’ (Keikhlasan)[4] Berkaitan dengan sumber dan keterbatasan dalam menemukan buku-buku politik al-Mawardi yang lain, maka dalam makalah ini cuma akan mengungkapkan anutan-ajaran politik al-Mawardi yang terdapat dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah.

B. KONDISI SOSIAL POLITIK PADA MASA AL-MAWARDI
Al-Mawardi hidup dikala keadaan sosial politik Dinasti Abbasiyah sedang mengalami banyak sekali gejolak dan disintegrasi. Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, khalifah-khalifah Abbasiyah betul-betul dalam kondisi lemah dan tidak berdaya. Kekuasaannya cuma merupakan formalitas, sedangkan kekuasaan riil berada di tangan Bani Buwaihi dan orang-orang Turki. Awal kemunduran dari politik Bani Abbas ialah dikala al-Mutawakkil berkuasa. Al-Mutawakkil yaitu khalifah yang lemah. Pada abad pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaannya dengan segera. Setelah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang menentukan dan mengangkat khalifah. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, walaupun mereka tetap memegang jabatan khalifah.[5]

Situasi politik di dunia Islam pada abad Mawardi, ialah menjelang akhir periode X sampai pertengahan era XI M, tidak lebih baik dari masa al-Farabi,[6] dan bahkan lebih parah. Kedudukan khalifah mulai melemah dan beliau mesti membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia. Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang demikian luas daerahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada waktu itu khalifah di Baghdad cuma ialah kepala negara yang resmi dengan kekuasaan formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana pemerintahan ialah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima berkebangsaan Turki atau Persia, serta penguasa-penguasa kawasan. Meskipun makin usang kekuasaan para pejabat tinggi dan panglima non-Arab itu semakin meningkat, hingga waktu itu belum tampak adanya usaha di pihak mereka untuk mengganti khalifah Arab itu dengan Khalifah yang berkebangsaan Turki atau Persia.

Namun demikian mulai terdengar permintaan dari sementara golongan agar jabatan itu dapat diisi oleh orang non-Arab dan tidak suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana mampu diperkirakan menjadikan reaksi dari kalangan lain, terutama dari kelompok Arab, yang ingin menjaga syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir atau tawfidh atau penasehat dan pembantu utama khalifah dalam menyusun budi. Mawardi yakni salah satu tokoh utama dari kelompok terakhir ini.[7]

Apabila diperhatikan pendahuluan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karangan al-Mawardi, tampakbahwa karya itu ditulis atas undangan seorang yang berkuasa. Besar kemungkinan orang yang memintanya itu yaitu khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu. Motifnya barangkali yakni untuk mengembalikan kekuasaan riil terhadap khalifah yang berada di tangan golongan Sunni, adalah kekuasaan Bani Abbas.[8] Maka tidak mengherankan kalau al-Mawardi tidak dapat menerima adanya dua orang kepala pemerintahan yang berkuasa dalam satu waktu di dunia Islam. Motif penolakan ini secara implisit untuk menentang pemerintahan bani Fathimiyah yang pada ketika itu berkuasa di Mesir. Ia menilainya selaku kekuatan politik yang berbahaya terhadap kekuasaan bani Abbasiyah di Baghdad.[9]

Sebagai reaksi kepada situasi politik pada zamannya maka al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas realita yang ada dan lalu secara realistik menunjukkan nasehat-nasehat perbaikan atau reformasi contohnya dengan menjaga status quo. Dia menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy, bahwa wazir tafwidh (pembantu utama khalifah dalam penyusunan akal) mesti berbangsa Arab, dan perlu ditegaskan standar bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan-jabatan pembantunya yang penting. Alasan terutama tak lain yaitu mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah Abbasiyah.

C. TEORI POLITIK AL-MAWARDI

Imamah (Kepemimpinan)
Pada bagian permulaan dari kitabnya al-Mawardi menyebutkan bahwa imamah/ kekhilafahan dibentuk untuk mengambil alih posisi kenabian dalam mengurus permasalahan agama dan menertibkan kehidupan dunia.[10] Yang di maksudkan oleh al-Mawardi dengan Imam adalah khalifah, raja, sulthan atau kepala negara. Dalam hal ini Mawardi memperlihatkan juga baju agama terhadap jabatan kepala negara di samping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, dibarengi dengan mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak yakni pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik.[11] Dalam teorinya al-Mawardi tidak mendikotomikan antara pemimpin politik dan pemimpin agama. Sejarah juga sudah menawarkan bahwa Rasulullah saw saat memimpin negara Madinah selain sebagai pembawa anutan Tuhan, juga sebagai pemimpin negara.

Cara Pemilihan atau Seleksi Imam
Al-Mawardi mengemukakan pendapatnya perihal pemerintahan terbentuk lewat dua kelompok. Pertama ahl al-ikhtiyar yakni mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Dan kedua, ahl al-imamah yakni mereka yang berhak memangku jabatan kepala pemerintahan. Bagi ahl al-ikhtiyar padanya harus mempunyai tiga syarat: (1) mempunyai sikap adil; (2) Memiliki ilmu wawasan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi imam; (3) Bijaksana dan idealis dalam menentukan pilihannya, siapa yang lebih patut dan terbilang jujur dalam memimpin umat Islam.[12] Namun siapa yang berhak menjadi anggota ahl al-ikhtiyar dan bagaimana cara rekrutmen anggota tersebut tidak diterangkan lebih jauh oleh Mawardi.

Dalam perkembangan sejarah berikutnya, ahl al-ikhtiyar atau ahl al-hall wa al-‘aqd [13] bahkan berada dibawah efek kepala negara, sebab kepala negaralah yang mengangkat mereka. Oleh akibatnya, mereka condong bersifat akomodatif terhadap kekuasaan. ahl al-hall wa al-‘aqd tidak lebih cuma sekedar alat legitimasi ambisi politik penguasa atas tindak tanduknya. Karena dipilih oleh penguasa, ahl al-hall wa al-‘aqd tidak merefleksikan dirinya selaku wakil rakyat. Keberadaannya tidak banyak menjinjing perubahan kembali ke tradisi syura yang efektif berlangsung hanya selama kurun al-Khulafa’ al-Rasyidun.[14] Ahl al-imamah selaku orang yang berhak menjadi pemimpin, menurut Mawardi harus mempunyai tujuh syarat:
  • Sikap adil dengan segala persyaratannya
  • Memiliki ilmu wawasan yang memadai untuk berijtihad
  • Sehat pendengaran, pengelihatan, dan lisannya
  • Utuh anggota-anggota tubuhnya
  • mempunyai wawasan yang baik untuk menertibkan kehidupan rakyat dan mengurus kepentingan biasa
  • Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan menghadapi lawan
  • Keturunan Quraisy.[15]
Dalam mengangkat kepala pemerintahan terdapat dua cara. Pertama, cara penyeleksian yang dilaksanakan oleh sekelompok orang yang duduk dalam ahl al-halli wa al-‘aqdi atau ahl al-ikhtiyar ialah para ulama cendikiawan dan pemuka masyarakat. Kedua, dengan cara penugasan atau wasiat oleh kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Kalau pengangkatan lewat pemilihan, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama perihal jumlah akseptor dalam penyeleksian itu.

Menurut Mawardi, mengapa pengangkatan imam atau khalifah dapat dilakukan dengan penunjukan atau wasiat oleh imam yang sebelumnya, dasarnya yang pertama adalah karena Umar bin Khattab menjadi khalifah melalui penugasan oleh pendahulunya, yaitu Abu Bakar. Demikian pula halnya Usman. Enam anggota “dewan formatur” yang memilihnya selaku khalifah yakni ditunjuk oleh pendahulunya, Umar bin Khattab. Dalam hal pengangkatan imam melalui penugasan atau wasiat oleh imam yang berkuasa, al-Mawardi menyatakan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya, seorang imam harus berupaya semoga yang ditunjuknya itu sungguh-sungguh berhak untuk mendapatkan iman dan kehormatan yang tinggi dan orang yang benar-benarpaling memenuhi syarat.

Kalau yang ditunjuk selaku kandidat pengganti itu bukan anak atau ayah sendiri, maka terdapat perbedaan usulan, adalah apakah imam boleh melaksanakan bai’at sendiri atau tidak. Sekelompok ulama berpendapat tidak boleh tidak dibenarkan imam seorang diri melakukan bai’at anak atau ayahnya sendiri. Dia mesti bermusyawarah dengan ahl al-ikhtiyar dan mengikuti usulan mereka. Kelompok ulama kedua mengemukakan bahwa imam seorang diri berhak melakukan bai’at terhadap anak atau ayahnya sendiri sebagai putra mahkota. Bukankah dia waktu itu pemimpin umat.

Sedangkan golongan yang ketiga berpendapat bahwa jikalau yang ditunjuk selaku putra mahkota itu ayahnya, imam dapat melaksanakan bai’at seorang diri. Tetapi tidak demikian halnya bila yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu anaknya.[16] Dari uraian perihal beberapa cara pengangkatan imam, baik yang melalui pemilihan maupun penunjukkan, al-Mawardi hanya mengemukakan aneka macam usulan tanpa memberikan preferensi atau pilihannya. Sikap kehati-hatiannya tersebut didasarkan pada fakta sejarah yang memberikan tidak ditemukannya sebuah sistem yang baku tentang pengangkatan kepala negara yang dapat dibilang pasti bahwa itulah sistem Islami.

Tentang Wazir
Al-Mawardi membagi wazir menjadi dua bentuk, pertama wazir tafwidh, yaitu wazir yang mempunyai kekuasaan luas menetapkan banyak sekali kecerdikan kenegaraan. Ia juga ialah koordinator kepala-kepala departeman. Wazir ini mampu dikatakan selaku Perdana Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang iman khalifah. Kedua, wazir tanfidz, adalah wazir yang cuma bertugas selaku pelaksana budi yang digariskan oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang memilih akal sendiri.[17]

Pada kurun pemerintahan al-Mu’tashim, saat khalifah tidak begitu berkuasa lagi, wazir-wazir berubah fungsi menjadi tentara pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Begitu kuatnya kekuasaan mereka di sentra pemerintahan (Baghdad), sehingga khalifah cuma menjadi boneka. Mereka mampu mengangkat dan menjatuhkan khalifah sekehendak hatinya. Panglima prajurit pengawal yang bergelar Amir al-Umara’ atau Sulthan[18] inilah intinya yang berkuasa di ibukota pemerintahan. Khalifah-khalifah tunduk pada kemauan mereka dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Namun yang menawan, panglima tersebut tidak berani mengadakan kudeta merebut dingklik kekhalifahan dari keluarga Abbasiyyah, meskipun khalifah telah lemah dan tidak berdaya. Padahal peluang dan kemampuan untuk itu mereka miliki. Barangkali persepsi Sunni perihal al-Aimmah min Quraisy (kepemimpinan umat dipegang oleh suku Quraisy) tetap mereka pegang teguh. Mereka merasa tidak syar’i jika menjadi khalifah sebab bukan termasuk keturunan Quraisy. Kalau mereka melakukan kudeta merebut kekuasaan, pasti akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka merasa lebih aman berperan di rahasia mengatur khalifah.[19]

Teori Kontrak Sosial
Suatu hal yang mempesona dari pemikiran ketatanegaraan Mawardi adalah kekerabatan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu ialah korelasi antara dua pihak penerima persetujuan sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu perjanjian atau persetujuan yang melahirkan keharusan dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh alhasil maka imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas sarat dari mereka, dia sebaliknya memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi kepada rakyatnya, seperti menunjukkan pemberian kepada mereka dan mengorganisir kepentingan mereka dengan baik dan sarat rasa tanggung jawab. Al-Mawardi mengemukakan teori kontraknya itu pada abad XI, sedangkan di Eropa teori perjanjian sosial baru timbul untuk pertama kalinya pada masa XVI.[20]

Dalam hal ini al-Mawardi menyampaikan bahwa kalau imam atau kepala negara telah melakukan kewajiban-keharusan terhadap umat, memiliki arti dia sudah menunaikan hak Allah berkenaan dengan hak dan tanggung jawab ummat. Dan ketika yang demikian imam mempunyai dua macam hak kepada ummat, adalah hak untuk ditaati dan hak dibela selama imam tidak menyimpang dari dari garis yang sudah ditetapkan.[21] Sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara kepala negara dengan rakyatnya (kesepakatan sosial). Dari kontrakitu lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak. Oleh sebab itu, rakyat yang sudah menunjukkan kekuasaan dan sebagian haknya kepada kepala negara berhak menurunkan kepala negara, kalau beliau dipandang tidak bisa lagi menjalankan pemerintahan sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati bareng .[22]

Sesuai dengan teorinya ini, Mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala negara sebagai sesuatu yang suci. Namun demikian, Mawardi juga menekankan kepatuhan terhadap kepala negara yang sudah dipilih. Kepatuhan ini tidak hanya kepada kepala negara yang adil, namun juga yang jahat (fajir). Untuk mendukung pernyataan ini, mawardi mengutip suatu hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:[23] Akan ada kelak pemimpin-pemimpin kamu sesudahku. Di antara mereka ada yang bagus dan memimpinmu dengan kebaikan. Tapi ada juga yang jahat dan memimpinmu dengan kejahatannya. Dengarkanlah dan patuhilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi jikalau mereka berbuat jahat, maka (akibat baiknya) untuk kau dan kejahatannya kembali kepada mereka.

Mekanisme Pengangkatan dan Pembebasan/Pemecatan Imam
Al-Mawardi menyebutkan salah satu peran penting dari forum pemilihan adalah mengadakan observasi lebih dahulu kepada kandidat kepala pemerintahan apakah ia telah memenuhi syarat atau tidak yang diajukan oleh forum wewenang ini. Jika telah menyanggupi persyaratan si calon diminta kesediaannya kemudian ditetapkan sebagai kepala pemerintahan dengan ijtihad atas dasar pemilihan yang dibarengi dengan pembai’atan. Dalam pembai’atan tidak ada komponen paksaan, rakyat yang telah membai’atnya mesti menaatinya. Tetapi di antara yang membai’atnya tidak setuju kepada kepala pemerintahan terpilih, alasannya adalah pengangkatannya atas dasar kesepakatan orang banyak, maka jabatan kepala pemerintahan harus diserahkan kepada orang yang dipandang lebih berhak memegang jabatan terhormat itu.

Mengenai pembebasan imam dari jabatannya, al-Mawardi memastikan kemungkinan pembebasan kepala negara dari jabatannya jika dia menyimpang dari keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya, atau tidak dapat melaksanakan tugasnya karena dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau tertawan. tetapi begitu, al-Mawardi juga beropini bahwa penyimpangan kepala negara tidak secara otomatis menjadikan penurunan dari jabatannya, bila beliau dapat mendukung tindakannya secara logis. Di samping itu, al-Mawardi juga tidak membahas bagaimana prosedur pembebasan kepala negara dari jabatannya dan siapa yang berhak melakukannya. Pandangan Mawardi ini menempatkan kepala negara pada kedudukan yang besar lengan berkuasa dan rakyat pada posisi yang lemah. Dalam dilema ini, rakyat tidak berperan banyak untuk melakukan kendali terhadap kebijakan-kebijakan kepala negara.

BAB III
PENUTUP
Makalah Biografi Al-Mawardi dan Pemikirannya

Demikian sekilas pandangan dan rancangan politik Islam al-Mawardi. Konsepnya ihwal perlunya pendirian negara tidak cuma didasarkan pada dalil akal tetapi juga didasarkan pada aturan syara’ mengakibatkan sebuah pemahaman yang baru dan berharga. Konsep-konsepnya tentang tata negara, bagaimana seorang pemimpin harus diseleksi, tolok ukur-patokan untuk menjadi pemimpin, perjanjian dan akad antara orang yang diseleksi dengan yang memilih, merupakan bab dari pemikirannya yang brilian. Namun selaku sebuah pemikiran tentunya akan terdapat beberapa kekurangan atau kelemahan yang mesti dipecahkan bareng dan dicari solusinya.

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayah ad-Diniyyah, Kairo, tp, 1973
  • Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga Post Modernisme, Paramadina,Jakarta, 1996
  • Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
  • Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa: Ihsan Ali-Fauzi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
  • Ehsan Ehsanullah, Siyasa Shar’iyya, Thinker’s Library, Selangor Malaysia , 1994
  • Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, cetakan keenam, Jakarta 2003
  • Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, cetakan kedua, Jakarta, 2003
  • Hamidullah, Abul A’la al-Maududi, Abdul Karim Zaidan, Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, alih bahasa: Jamaluddin Kafie, Bina Ilmu, Surabaya, 1987
  • Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
  • Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
  • Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Edisi kelima, UI Press, Jakarta, 1993
  • Qamar-ud-Din Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, Idarah-i Adabiyat-i Delli, Delhi, tt

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon